Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan budaya yang melimpah, terdiri dari beragam tradisi dan warisan yang diwariskan turun temurun oleh nenek moyang. Salah satu tradisi yang kaya akan nilai sejarah dan budaya adalah pencak sumping. Pencak sumping merupakan sebuah warisan budaya yang berasal dari Dusun Mondoluko, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Tradisi ini bukan hanya merupakan pertunjukan seni bela diri, tetapi juga simbol perlawanan terhadap penjajah yang telah diwariskan selama lebih dari beberapa tahun silam. Pencak sumping menjadi saksi bisu perjuangan dan semangat rakyat Mondoluko dalam mempertahankan martabat dan kemerdekaan mereka. Dusun Mondoluko sendiri adalah sebuah dusun yang mungkin tampak sederhana, namun memiliki kekayaan budaya dan khazanah adat istiadat melimpah . Di tengah kemajuan zaman dan arus modernisasi yang semakin kuat, masyarakat Mondoluko tetap teguh melestarikan warisan leluhur mereka. Pencak sumping yang merupakan tradisi turun temurun di Dusun Mondoluko tepatnya di RT 2 RW 2 ini sudah menjadi bagian integral dari identitas dan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.
Asal Usul dan Sejarah
Tradisi Pencak Sumping tidak diketahui secara pasti kapan dimulainya. Namun, menurut penuturan Achmad Surur sebagai Kepala Dusun Mondoluko, tradisi ini sudah ada sekitar 200 hingga 400 tahun yang lalu. Di Dusun Mondoluko sendiri tradisi ini diketahui berawal dari seorang tetua bernama
mbah Sarkiman yang disinyalir salah satu warga pertama yang ada di Dusun tersebut, yang menjadi figur sentral dalam penyebaran pencak sumping di Mondoluko. Tetapi, tradisi ini mengalami puncak kejayaan dan populer dikalangan pendekar pada msa Mbah Serad.
Pelaksanaan dan Ritual
Pencak Sumping dilaksanakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah, bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Persiapan ritualnya dimulai sejak malam 9 Dzulhijjah, di mana penduduk menyusuri jalan sambil mengumandangkan adzan di setiap tikungan dan berjalan sembari terus membaca istigfar. Kemudian, mereka mengadakan selametan di pinggir jalan, yang dilanjutkan dengan barikan atau lebih familiar dengan sebutan selametan kamoung, selanjutnya kegiatan dilanjutkan dengan membaca Lontar Yusuf semalam suntuk.Puncaknya, Ritual adat pencak sumping dimulai keesokan harinya sekitar pukul sepuluh pagi, diawali dengan doa bersama para sesepuh. Acara dibuka dengan menarik kupat luwar sebagai simbol menjauhkan diri dari mara bahaya. Sesepuh kemudian memulai atraksi, diikuti oleh sekitar 7-8 pendekar sepuh lainnya. Setelah dhuhur, tamu undangan pendekar dari berbagai tempat turut memperagakan keterampilan mereka hingga pukul empat sore. Adapun pakaian yang dikenakan biasanya serba hitam dilengkapi dengan udeng osing. Perlengkapan ritual mencakup celurit, belati, dan kelewang (pedang panjang). Pengiring musik menggunakan kendang, kecreg, dan kenul.
Partisipasi dan Perkembangan
Atraksi Pencak Sumping melibatkan berbagai kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Tradisi ini sudah mendarah daging di kalangan warga Mondoluko, sehingga hampir semua warga bisa melakukan gerakan-gerakan dasar pencak sumping meski tanpa latihan rutin. Perkembangan tradisi ini bisa dikatakan stagnan karena meski seluruh warga mampu melaksanakan atraksi, tidak banyak perubahan yang terjadi. Meski begitu, semangat warga Mondoluko tetap tinggi dalam menjaga tradisi ini. Dalam melestarikan tradisi pencak sumping belum ada tantangan yang dihadapi, karena rasa cinta warga Mondoluko terhadap pelestarian budaya pencak sumping. Menurut penuturan Pak Achmad Surur, Kepala Dusun Mondoluko “banyak tidaknya penonton, ada bantuan atau tidak tetap dilaksanakan pencak tersebut sesuai dengan ritual adat yang telah berlangsung turun temurun”. Sejauh ini, pertunjukan pencak sumping menjadi salah satu pertunjukan yang selalu ditampilkan dalam festival yang ada di kabupaten Banyuwangi.
Dampak Ekonomi
Pencak sumping adalah salah satu bentuk seni bela diri tradisional yang berasal dari Indonesia. Meskipun memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi, pengaruhnya terhadap perekonomian kurang signifikan. Hal ini terutama disebabkan
oleh popularitas pencak sumping di luar komunitas lokal. Faktor lain yang menyebabkan pencak sumping kurang berpengaruh pada ekonomi adalah terbatasnya sumber daya dan dukungan finansial untuk pengembangan dan pelatihan. Sebagian besar praktisi pencak sumping mengandalkan dana pribadi atau komunitas untuk melanjutkan latihan dan pertunjukan mereka. Kurangnya dukungan pemerintah atau swasta untuk mempromosikan dan mengembangkan pencak sumping berarti bahwa seni bela diri ini tidak dapat berkembang menjadi industri yang menghasilkan pendapatan signifikan.
Pesan dan Harapan
Harapan dari kepala dusun Mondoluko yaitu, Pak Ahmad Surur “Apapun yang terjadi dengan adat istiadat untuk menjaga eksistensi warisan budaya dari leluhur, dan tanpa mengurangi rasa hormat pada siapapun mari kita tetap bersama-sama dengan catatan kita harus mampu bekerja sama”. Adat istiadat adalah salah satu aspek penting dalam menjaga eksistensi warisan budaya dari leluhur. Tradisi dan nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi ini tidak hanya menjadi identitas suatu komunitas, tetapi juga mencerminkan sejarah dan kebijaksanaan yang telah teruji oleh waktu. Oleh karena itu, apapun yang terjadi, sangat penting untuk mempertahankan adat istiadat ini agar warisan budaya tersebut tetap hidup dan bisa dinikmati oleh generasi mendatang.
Rayis 71 selaku sesepuh pencak Dusun Mondoluko menambahkan, upya melestarikan ini berkaca pada ajaran jurus yang telah ditinggalkan leluhur diantara jurus yang khas adalah sangkol, bendung, alif, sembur, pecut dan beberapa jurus lainnya bersifat rahasia. Semuanya diajarkan bagi mereka yang belajar. Hanya saja, untuk jurus- jurus tertentu
memang dikhususkan asli keturunan yang sah dan benar- benar siap secara mental. Alias tidak digunakan untuk sembarangan. “ Jurus iki mong dienggo bener, dudu dienggo mungga alem paran maning dienggo heng sing- sing”, Tuturnya.
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, Kepala Desa Tamansuruh menyatakan, pencak sumping cibagor ini telah menjadi warisan leluhur dusun yang terus konsisten dilestarikan oleh penduduk Dusun Mondoluko, untuk itu perlu kiranya pemerintah mendukung dan mensupport semua kegiatan yang telah menjadi adat istiadatnya. Untuk itu, saya berharap kedepan pencak sumping tidak hanya menjadi simbol Dusun Mondoluko tetapi juga Desa Tamansuruh bahkan Banyuwangi secara umum. Tujuannya satu, terwujudnya pencak sumping yang merakyat dan dapat dinikmati semua kalangan. Harapnya. (*)